KonsPro (1/9) – MESKI pemasukan keuangan negara sangat besar, namun pemerintah tidak peduli dan bisa dikatakan tak memiliki keberpihakan terhadap konsumen properti.
Padahal properti (baik tempat tinggal maupun ruang usaha) di tanah air bukan lagi sekedar pemenuhan kebutuhan akan papan semata. Lebih dari itu, properti sudah menjadi industri yang memberikan pemasukan keuangan kepada negara yang sangat besar. Tapi sayang, industri properti yang begitu menjanjikan ini tidak memiliki regulasi atau aturan main yang jelas.
Terlebih lagi kalau kita kaitan dengan urusan perlindungan terhadap konsumen properti. Bisa dikatakan, hingga saat ini konsumen selalu berada pada posisi yang lemah. Parahnya lagi, negara seakan tidak mau tahu (tepatnya mungkin tak mau tahu) dan mendiamkan hal ini. Tengok saja, meski sangat dibutuhkan, namun sampai sekarang di republik ini tidak memiliki lembaga yang mengontrol prilaku kalangan pelaku bisnis properti, ataupun lembaga yang bisa menyelesaikan sengketa konsumen dengan pelaku bisnis properti. Alhasil pebisnis properti sangat bebas memasarkan produk mereka yang kadang-kadang kurang memperhatikan etika berbisnis, di pihak lain hak-hak konsumen kerap terabaikan.
Menurut Erwin Kallo, Pakar Hukum Properti, peranan pemerintah dalam hal ini sangatlah dibutuhkan. “Dan sudah seharusnya di Indonesia ini ada semacam lembaga yang dibentuk pemerintah untuk menyelesaikan sengketa antara pengembang dan konsumen,” terangnya kepada KonsPro.
Untuk mengetahui pandangannya terhadap kondisi riil konsumen properti di tanah air saat ini, dan apa saja yang mesti dilakukan pemerintah maupun konsumen agar hak-hak konsumen tidak di kebiri, ikuti petikan hasil wawancara dengan pria berdarah Makassar ini.
Menurut Anda, kenapa perlindungan konsumen khususnya konsumen properti di Indonesia lemah?
ya, ini menarik. Perlindungan konsumen di Indonesia itu memang lemah, bahkan nyaris tidak ada. Jadi yang terjadi adalah konsumen dan pelaku bisnis properti itu ‘bertarung bebas’. Namun sayangnya, ‘pertarungan’ ini tidak seimbang, dimana konsumen memiliki posisi tawar yang sangat lemah.
Menurut Anda mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, karena peran negara yang dapat dikatakan hampir belum ada. Negara selalu absen untuk melindungi konsumen. Contohnya, negara tidak punya kontrol terhadap pemasaran properti di Indonesia. Bahkan dengan alasan tes pasar, pengembang yang belum memiliki izinpun sudah bisa memasarkan produknya. Ini kan sangat mengkwatirkan. Tidak ada satu lembaga di negara ini yang mengontrol itu. Padahal lembaga seperti ini seharusnya ada.
Yang kedua adalah sistem. Sistem pembangunan dan sistem pembayaran itu sangat melemahkan konsumen. Coba kita bandingkan di negara-negara seperti Singapura dan di Australia misalnya. Konsumen itu tidak membayar ke pengembang. Konsumen itu membayar ke bank, dan bank memberi kredit ke pengembang. Jadi pengembang terima uang setelah proyek selesai.
Bagaimana di Indonesia?
Nah, kalau di Indonesia mereka dibiarkan ‘bertarung bebas’. Konsumen dan pengembang dibiarkan mengurus dirinya masing-masing. Kalau ada sengketa pun mereka dibiarkan menyelesaikan dengan ‘hukum pasar’. Siapa yang kuat dia yang menang. Misalnya, kalau terlambat membangun, atau bahkan tidak jadi membangu. Apa yang harus dilakukan kosnsumen? Yang jelas bargaining position konsumen itu sangat lemah dan sama sekali tidak seimbang ketika bersengketa dengan developer.
Selain itu apa lagi?
Ya, yang ketiga itu sistem peradilan. Sistem peradilan di Indonesia juga turut andil melemahkan posisi konsumen properti. Artinya, sampai saat ini tidak ada badan penyelesaian sengketa konsumen properti. Padahal di bidang-bidang lain ada badan yang mengurusi sengketa-sengketa konsumennya. Seperti di Perhubungan ada PHI, di bidang Perpajakan, dan beberapa bidang lainnya. Untuk hal ini, sejak beberapa tahun silam saya sudah bicara, bahwa dibutuhkan lembaga yang secara khusus penangani persengketaan properti. Konkritnya semacam Alternative dispute resolution (ADR). Jadi tidak harus di peradilan umum. Ya seperti pengadilan niaga.
Konkritnya, bagaimana kondisi riil peradilan kita, hingga ‘tidak bersahabat” dengan konsumen properti?
Lihat saja sistem peradilan konvensional kita selama ini. Sebuah proses perkara itu membutuhkan waktu yang lama, mahal dan menguras energi yang banyak. Sehingga kalau konsumen misalnya punya rumah dengan harga Rp 100 juta dan mendapat masalah, apa dia mau ke pengadilan. Anda yang punya rumah dengan harga Rp 1 miliar-pun mungkin masih enggan ke pengadilan. Ongkosnya saja sudah habis berapa. Inilah yang melemahkan konsumen. Jadi kita harus melihat akar persoalannya, mengapa konsumen tidak berdaya di Indonesia. Jawabnya ya karena sistem.
Artinya, keadilan untuk konsumen properti di Indonesia masih jauh panggang dari api?
Begitulah. Lihat saja, jika konsumen memiliki persoalan, mereka mau mengadu kemana. Negara tidak bisa –tepatnya tidak mau– berbuat apa-apa. Negara tidak peduli dan bisa dikatakan tidak ada keberpihakan negara terhadap konsumen properti. Sedangkan di sisi lain, negara sangat diuntungkan dengan konsumen. Seperti kita ketahui, sektor properti memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keuangan negara, terutama dari pajak, BPHTB, PPN, dan lainnya. Setiap tahun jumlahnya sangat besar. Belum lagi belanja iklannya.
Jadi peran pemerintah seperti apa yang dibutuhkan?
Kontrol dong. Regulasinya harus jelas, karena properti itu sekarang bukan lagi hanya sekedar pemenuhan kebutuhan papan semata, tapi sudah menjadi industri. Nah negara punya kewajiban untuk membuat industri ini tetap sehat. Jadi harus ada aturan main yang fair.
Bukannya selama ini sudah ada Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen?
Kalau UU Perlindungan Konsumen itukan hanya bicara tentang hak-hak konsumen. Maksud saya misalnya harus ada regulasi yang melarang pengembang memasarkan produk kalau belum ada SPPT atau belum ada IMB. Atau misalnya ada aturan pemerintah soal pembayaran. Misalnya konsumen membayar ke bank saja, tidak ke pengembang. Ini akan lebih aman. Karena banyak contoh, dimana pengembang itu banyak yang tergoda untuk membawa uang konsumen, padahal proyeknya tidak jadi atau terlambat. Jadi sekali lagi, tidak ada yang mengontrol pengembang. Yang ada hanya kontrol di perizinan saja. Tapi bagaimana pengembang itu beroperasi, bagaimana ia berhubungan dengan konsumen, itu tidak ada. Nah, celakanya lagi setelah ada masalah, juga tidak ada yang menyelesaikan.
Jadi menurut Anda harus ada lembaga seperti Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen Properti?
ya, seperti itu lah. Soal jurinya siapa, bisa saja dari REI juga, hakim, praktisi dan lainnya. Yang penting kan ada regulasi dari pemerintah. Apakah melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau pun Keputusan Presiden (Kepres), terserah. Kalau ada lembaga seperti itu, tentu orang akan banyak yang mengadu. Kalau mengadu ke pengadilan, saya rasa konsumen akan keberatan. Belum lagi masalah waktunya, ongkosnya, biaya pengacara dan lainnya.
Selama ini, masalah-masalah apa saja yang sering dihadapi konsumen?
Masalah keterlambatan serah terima. Itu yang paling sering terjadi. Dan mungkin sekitar 80 persen konsumen properti mengeluhkan soal itu. Selanjutnya soal spesifikasi. Biasanya spesifikasi properti yang dibeli tidak sesuai dengan seperti apa yang dijanjikan. Terus kalau di landed house itu yang banyak dialami adalah infrastruktur yang tidak memadai.
Berdasarkan pengalaman Anda, sebetulnya seberapa besar pengaduan konsumen soal sangketa properti ini?
Banyak sekali. Indikasinya lihat saja, berapa banyak proyek yang tidak tepat waktu. Berapa banyak proyek yang tidak sesuai dengan apa yang mereka janjikan. Nah, satu proyek saja jumlah konsumennya luar biasa banyak, bahkan satu proyek bisa ribuan orang.
Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan konsumen untuk melindungi dirinya?
Secara teknis ada beberapa. Kalau misalnya itu kebanyakan kan konsumen tidak diberikan PPJB, dan lainnya, konsumen mesti meminta draf PPJB tersebut. Dan baca dengan teliti sebelum tanda tangan.
Hal lain yang sering terjadi adalah, biasanya pengembang tidak mau memberikan PPJB untuk dipelajari oleh konsumen terlebih dahulu.
Gampang, jangan di beli! Konsumen itu harus minta PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual – Beli), karena itu hak konsumen. Tapi konsumen juga jangan cuma nanya-nanya aja kemudian minta PPJB. Setidaknya konsumen sudah membayar DP-nya. Jadi konsumen juga benar-benar sudah punya itikad mau beli.
Selama ini meskipun ada hal yang kurang berkenan, pengembang tidak mau merubah PPJB tersebut. Bagaimana menurut Anda?
Tidak bisa itu. Apapun namanya, kalau belum ditandatangani itu belum dapat dikatakan perjanjian. Itu baru sekedar draft, sehingga mungkinan dirubah-rubah sangat terbuka. Dia akan menjadi perjanjian kalau sudah ditandatangani. Jadi siapa bilang itu tidak bisa dirubah.
Menurut Anda, jika lembaga penyelesaian sengketa properti ini dibuat, cocoknya di bawah kementerian apa?
Menurut saya akan lebih pas di bawah Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Hanya saja Kemenpera harus punya gigi dulu, alias tidak seperti macan ompong seperti saat ini. Caranya agar Kemenpera punya gigi adalah harus ada lisensi yang mereka terbitkan. Jadi kalau ada pengembang yang macam-macam ada yang bisa mereka cabut. Tidak seperti sekarang, pengembang itu lebih takut kepada Pemda dari pada Menpera. Lihat saja seperti yang terjadi pada pengembang di DKI Jakarta. Karena DKI memiliki izin yang bisa dia cabut lagi.
Bagaimana jika di bawah REI sendiri?
Tidak mungkinlah REI untuk menertibkan anggotanya sendiri. Sama saja ‘jeruk makan jeruk’. Masalahnya pengurus REI itu kan juga punya proyek masing-masing. Jadi secara organisatoris akan sulit bagi REI. (Zal)